Senin, 31 Oktober 2011

Meningkatkan Kesejahtraan masyarakat di wilayah pesisir dengan cara pemberdayaan masyarat pesisir.

Sekitar 16,42 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang hidup di kawasan pesisir. Mereka bertempat tinggal di sedikitnya 8.090 desa pesisir yang tersebar di seluruh wilayah negeri ini.

Pilihan untuk hidup di kawasan pesisir tentu sangat relevan mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas sekitar 17.504 pulau dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km. Sepanjang wilayah pesisir memiliki potensi sumber daya alam hayati maupun non-hayati, sumber daya buatan serta jasa lingkungan yang sangat penting bagi penghidupan masyarakat.

Kondisi geografis yang memiliki garis pantai begitu panjang ditambah besarnya potensi perikanan yang ada, seharusnya mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat yang mendiaminya. Berharap kemakmuran hidup dari potensi dan kekayaan alam yang ada tentu bukan keinginan yang muluk-muluk.

Namun, kondisi yang dialami sebagian besar masyarakat pesisir ternyata tak sepenuhnya sejahtera. Hal ini jika kita menengok hasil analisis beberapa lembaga, yang mengungkapkan tingkat kemiskinan atau Poverty Headcount Index (PHI) rata-rata 0,3241. Dengan begitu, artinya diindikasikan masih ada sekita 32% dari total masyarakat pesisir yang masuk kategori miskin.Oleh karena itu, upaya memberdayakan masyarakat pesisir dan membebaskan mereka dari kemiskinan dan keterbelakangan menjadi keharusan sebagai langkah awal dalam membangunan sektor kelautan.

Untuk itu, kebijakan yang diterapkan pemerintah seharusnya lebih berpihak lagi pada pemangku kepentingan di wilayah pesisir.Berbagai program, proyek dan kegiatan telah dilakukan untuk mengentaskan nelayan dari kemiskinan. ternyata jumlah nelayan kecil secara magnitute tetap bertambah. Desa-desa pesisir semakin hari semakin luas areanya dan banyak jumlahnya. Karena itu meskipun banyak upaya telah dilakukan, umumnya bisa dikatakan bahwa upaya-upaya tersebut belum membawa hasil yang memuaskan.Motorisasi armada nelayan skala kecil adalah program yang dikembangkan pada awaltahun 1980-an untuk meningkatkan produktivitas. Program motorisasi dilaksanakan di daerah padat nelayan, juga sebagai respons atas dikeluarkannya Keppres No. 39 tahun 1980 tentang penghapusan pukau harimau. Program ini semacam kompensasi untuk meningkatkan produksiudang nasional. Namun ternyata motorisasi armada ini banyak gagal karena tidak tepat sasaranya itu bias melawan nelayan kecil, dimanipulasi oleh aparat dan elit demi untuk kepentingan mereka dan bukannya untuk kepentingan nelayan.Akan tetapi program motorisasi ini juga membawa dampak positip, dilihat daribertambahnya jumlah perahu bermotor di banyak daerah di Indonesia. Saat ini bila ada program pemerintah untuk mengadakan armada kapal/perahu nelayan, atau bila ada rencana investasi oleh nelayan, selalu pengadaan motor penggerak perahu menjadi permintaan nelayan.

Program lain yang dikembangkan untuk mengentaskan kemiskinan adalah pengembangan nilai tambah melalui penerapan sistem rantai dingin (cold chain system). Sistem rantai dingin adalah penerapan cara-cara penanganan ikan dengan menggunakan es guna menghindari kemunduran mutu ikan. Dikatakan sistem rantai dingin karena esensinya yaitu menggunakan es di sepanjang rantai pemasaran dan transportasi ikan, yaitu sejak ditangkap atau diangkat dari laut hingga ikan tiba di pasar eceran atau di tangan konsumen.Sistem rantai dingin dikembangkan di seluruh daerah di Indonesia pada awal tahun 1980- an. Namun demikian masalah yang dihadapi adalah sosialisasi sistem ini yang tidak begitu baik sehingga akhirnya kurang mendapat tempat di hati masyarakat. Sebagai contoh hingga saat ini, di daerah tertentu di Maluku dan NTT, ada pendapat bahwa ikan yang menggunakan es adalah ikan yang rendah kualitasnya. Bagi masyarakat di kedua daerah ini, meskipun ikan sudah sangat turun mutunya namun tetap dikonsumsi bila tidak memakasi es. Sebaliknya meskipun masih baik mutunya namun apabila menggunakan es maka ikan tersebut tidak akan dibeli oleh masyarakat.

Alasan lain kurang berhasilnya sistem rantai dingin adalah fasilitas dan prasarana pabrik es yang tidak tersedia secara baik. Umumnya pabrik es dibangun oleh swasta, kecuali di pelabuhan perikanan milik pemerintah dimana pabrik es tersedia. Namun demikian apa yang disediakan oleh pemerintah masih sedikit dan terkonsentrasi di daerah tertentu saja, bila dibandingkan dengan kebutuhan yang begitu besar dan tersebar merata di seluruh Indonesia Program besar lain yang dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan adalah pembangunan prasarana perikanan, khususnya pelabuhan perikanan berbagai tipe dan ukuran di seluruh Indonesia. Dengan bantuan luar negeri, selama beberapa tahun terakhir, pelabuhan perikanan, mulai dari kelas yang sangat kecil yaitu pangkalan pendaratan ikan hingga kelas yang terbesar yaitu pelabuhan perikanan samudera, dibangun di desa-desa nelayan dan sentra-sentra produksi perikanan. Akan tetapi, kembali, banyak pelabuhan yang masih belum dimanfaatkan.

Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Berdasarkan konsep pembanguanan masyarakat yang menekankan pada pemberdayaanmaka diformulasikan sasaran pemberdayaan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan petaniikan yang tinggal di kawasan pesisir pulau kecil dan besar, yang adalah sebagai berikut:

· Tersedianya dan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.

· Tersedianya prasarana dan sarana produksi secara lokal yang memungkinkan masyarakat dapat memperolehnya dengan harga murah dan kualitas yang baik.

· Meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif (collectiveaction) untuk mencapai tujuan-tujuan individu.

· Terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah yang memiliki ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal (resource-based), memiliki pasar yang jelas (market-based) dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan kapasitas sumberdaya(environmental-based), dimiliki dan dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat lokal (local society-based), dan dengan menggunakan teknologi maju tepat guna yang berasaldari proses pengkajian dan penelitian (scientific-based).

· Terciptanya hubungan transportasi dan komunikasi sebagai basis atau dasar hubungaN ekonomi antar kawasan pesisir serta antara pesisir dan pedalaman.

· Terwujudnya struktur ekonomi Indonesia yang berbasis pada kegiatan ekonomi diwilayah pesisir dan laut sebagai wujud pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya alam laut.

Lemahnya Keterlibatan Stakeholder

Masalah yang muncul dari beberapa kelembagaan adalah memperlakukan masyarakat pesisir dengan cara dan sudut pandang secara sama. Sejatinya, masyarakat tidak dapat diperlakukan dengan sama dalam aturan-aturan yang sifatnya mekanistik karena masyarakat bukanlah mesin. Kegagalan yang terjadi dalam proses pembangunan yang terjadi di masyarakat pesisir disebabkan karena kebanyakan dari proyek pembangunan yang dilakukan untuk masyarakat pesisir adalah proyek yang berorientasi hasil dengan mengabaikan proses pembangunan dan kultur masyarakat pesisir. Selain itu, banyak dari pihak luar yang kurang antusias dan kurang simpati dalam keikutsertaan membangun sumberdaya wilayah pesisir dan memberdayakan masyarakat setempat.

Munculnya masalah tersebut disebabkan oleh lemahnya sistem dan tata cara koordinasi antar stakeholder karena belum didukung dengan adanya sistem hukum yang mengatur kegiatan tesebut. Selain itu, lemahnya kualitas sumber daya manusia yang mempengaruhi proses partisipatif menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini sering berdampak pada munculnya ketidak-sepahaman dan konflik penggunaan ruang antar stakeholder dalam rangka menjaga keseimbangan keberlanjutan sumberdaya alam yang berada di sekitar wilayah pesisir dan laut. Oleh karena itu, tekait dengan permasalahan-permasalahan tersebut di atas pengkajian kebijakan kelautan secara partisipatif dengan stakeholder dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir sangat diperlukan.

Masyarakat pesisir memerlukan bentuk kegiatan nyata yang dapat membangun ekonomi mereka tanpa menghilangkan kultur dan karakteristik dari masyarakat pesisir tersebut. Maka diperlukan bentuk kegiatan yang berbasis masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang no.22 tahun 1999 tentang desentralisasi dan otonomi daerah yang memberikan wewenang kepada daerah untuk mengurus sendiri segala urusan daerahnya. Begitu juga dengan wilayah pesisir, ketua masyarakat atau kepala suku dapat bekerjasama dengan penduduk untuk mengurus pesisir dan lautnya sesuai dengan adat mereka. Namun, disamping itu masyarakat pesisir harus bekerjasama juga dengan pemerintah atau BPL (Badan Penyuluhan Lapangan) untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada masyarakat supaya pengelolaan sumberdaya alam lingkungan laut dapat termanfaatkan dengan baik dan lestari.

Permasalahn Kemiskinan Masyarakat Pesisir

Keterbelakangan dan kemiskinan bukanlah cerita baru bagi masyarakat pesisir. Berdasarkan ukurannya, kemiskinan dibagi menjadi dua kemiskinan absolute dan kemiskinan relative (Satria, 2002)6. Kemiskinan absolute adalah masyarakat yang secara alamiah benar-benar miskin berdasarkan ketentuan ukurannya. Sementara itu, kemiskinan relative merupakan kemiskinan dari suatu kelompok pendapatan bila dibandingkan dengan kelompok pendapatan lainnya

Kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan masyarakat pesisir. ketertinggalan ini disebabkan paling tidak oleh tiga hal utama, yaitu : kemiskinan structural, kemiskinan super-struktural, dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal di luar individu.Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabelvariabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan.. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu (Nikijuluw dalam Die, 1996)7.

Kemiskinan kultural terjadi karena faktor internal, nelayan miskin karena kurangnya modal dan keterbatasan teknologi dan menajemen bahkan karena sifat malas yang dimiliki oleh nelayan yang menyebabkan dia miskin. Berbeda dengan kemiskinan cultural yang timbul dari intern, kemiskinan structural terjadi karena factor eksternal misalnya adanya hambatan bagi mobilitas vertical nelayan, tidak adanya dukungan dari pemerintah atau hubungan patron-klien yang masih bersifat asimetris.

Aspek struktural menyebabkan lemahnya posisi nelayan atau pembudidaya ikan dalam pemasaran. Proses tawar menawar menyebabkan para nelayan sangat lemah dan tidak berdaya karena hasil produksi mereka yang masih minim. Selain itu, desakan kebutuhan yang memaksa nelayan untuk menerima tawaran harga dari pasar meskipun harga tersebut sangat merugikan nelayan. Sehingga kajian tentang pemberdayaan untuk mengatasi masalah para nelayan, kemiskinan dan keterbelakangan sangatlah penting.

Pemberdayaan merupakan upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh masyarakat (Wahyono, 2001). Program pemberdayaan masyarakat adalah program yang seluruhnya melibatkan masyarakat, partisipasi masyarakat,dan berbasis masyarakat karena pihak luar hanya sebatas mendampingi dan memberikan alternative pemecahan masalah bagi masalah yang dihadapi masyarakat. Untuk melakukan pemberdayaan maka harus ada pengetahuan yang luas dan penguatan system lokal sehingga ide dan gagasan para nelayan patut didengarkan dengan baik.

Kesimpulan

Masyarakat pesisir merupakan suatu komunitas yang hidup di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dengan sumberdaya pesisir. Masyarakat pesisir termasuk masyarakat yang masih terbelakang dan berada dalam posisi marginal. Selain itu, banyak dimensi kehidupan yang tidak diketahui oleh orang luar tentang karakteristik masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir mempunyai cara berbeda dalam aspek pengetahuan, kepercayaan, peranan sosial, dan struktur sosialnya. Sementara itu, dibalik kemarginalannya, masyarakat pesisir tidak mempunyai banyak cara dalam mengatasi masalah yang hadir. Masalah kompleks yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kemiskinan, keterbatasan pengetahuan untuk pengelolaan sumberdaya dan teknologi, serta peran aktif antara pihak luar dengan masyarakat pesisir sehingga dapat menghidupkan kualitas dan keterampilan masyarakat pesisir tanpa melunturkkan karakter budayanya

Masyarakat pesisir yang memiliki karakter tegas, keras, dan terbuka memerlukan berbagai strategi dan kegiatan.yang bersifat fleksibel agar dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Pemberdayaan masyarakat berbasis masyarkat merupakan salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan dan ketidakberdayaan yang dialami oleh masyarakat pesisir khususnya para nelayan. Program-program yang telah dilakukan pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat pesisir telah banyak menghasilkan manfaat dan membantu meningkatkan pendapatan masyarakat. Namun, tidak sedikit pula program-program yang tidak berhasil karena tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan tidak ada keberlanjutan dari masyarakat.

Saran

Pada dasarnya masyarakat pesisir tidak hanya termarginalkan dalam hal geografis, tetapi juga dalam hal keterlibatan dengan pihak luar. Oleh karena itu, untuk menghadapi berbagai konflik dan masalah yang tak kunjung reda pada masyarakat pesisir, diperlukan adanya suatu integrasi dan kerjasama antara pihak terdidik baik suatu lembaga ataupun pemerintah dengan masyarakat pesisir untuk memberikan pendidikan dan kegiatan nyata yang berkelanjutan yang dibutuhkan masyarakat. Masyarakat pesisir bukan suatu obyek yang hanya patut diteliti tentang berbagai ketimpangan yang terjadi didalam masyarakat tersebut dan kemudian dibela. Namun, masyarakat pesisir memerlukan suatu kegiatan yang tidak bersifat advokasi melainkan suatu fasilitator yang dapat menampung aspirasi mereka. Olek karena itu, untuk pihak luar yang bekerja sama dengan masyarakat pesisir hanya patut mendengarkan, dan mendampingi mereka serta memberikan alternative pemecahan masalah karena masyarakat pesisir sendirilah yang akan memperbaiki kualitas hidup mereka.

Meningkatkan Kesejahtraan masyarakat di wilayah pesisir dengan cara pemberdayaan masyarat pesisir.

Meningkatkan Kesejahtraan masyarakat di wilayah pesisir dengan cara pemberdayaan masyarat pesisir.

Sekitar 16,42 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang hidup di kawasan pesisir. Mereka bertempat tinggal di sedikitnya 8.090 desa pesisir yang tersebar di seluruh wilayah negeri ini.

Pilihan untuk hidup di kawasan pesisir tentu sangat relevan mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas sekitar 17.504 pulau dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km. Sepanjang wilayah pesisir memiliki potensi sumber daya alam hayati maupun non-hayati, sumber daya buatan serta jasa lingkungan yang sangat penting bagi penghidupan masyarakat.

Kondisi geografis yang memiliki garis pantai begitu panjang ditambah besarnya potensi perikanan yang ada, seharusnya mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat yang mendiaminya. Berharap kemakmuran hidup dari potensi dan kekayaan alam yang ada tentu bukan keinginan yang muluk-muluk.

Namun, kondisi yang dialami sebagian besar masyarakat pesisir ternyata tak sepenuhnya sejahtera. Hal ini jika kita menengok hasil analisis beberapa lembaga, yang mengungkapkan tingkat kemiskinan atau Poverty Headcount Index (PHI) rata-rata 0,3241. Dengan begitu, artinya diindikasikan masih ada sekita 32% dari total masyarakat pesisir yang masuk kategori miskin.Oleh karena itu, upaya memberdayakan masyarakat pesisir dan membebaskan mereka dari kemiskinan dan keterbelakangan menjadi keharusan sebagai langkah awal dalam membangunan sektor kelautan.

Untuk itu, kebijakan yang diterapkan pemerintah seharusnya lebih berpihak lagi pada pemangku kepentingan di wilayah pesisir.Berbagai program, proyek dan kegiatan telah dilakukan untuk mengentaskan nelayan dari kemiskinan. ternyata jumlah nelayan kecil secara magnitute tetap bertambah. Desa-desa pesisir semakin hari semakin luas areanya dan banyak jumlahnya. Karena itu meskipun banyak upaya telah dilakukan, umumnya bisa dikatakan bahwa upaya-upaya tersebut belum membawa hasil yang memuaskan.Motorisasi armada nelayan skala kecil adalah program yang dikembangkan pada awaltahun 1980-an untuk meningkatkan produktivitas. Program motorisasi dilaksanakan di daerah padat nelayan, juga sebagai respons atas dikeluarkannya Keppres No. 39 tahun 1980 tentang penghapusan pukau harimau. Program ini semacam kompensasi untuk meningkatkan produksiudang nasional. Namun ternyata motorisasi armada ini banyak gagal karena tidak tepat sasaranya itu bias melawan nelayan kecil, dimanipulasi oleh aparat dan elit demi untuk kepentingan mereka dan bukannya untuk kepentingan nelayan.Akan tetapi program motorisasi ini juga membawa dampak positip, dilihat daribertambahnya jumlah perahu bermotor di banyak daerah di Indonesia. Saat ini bila ada program pemerintah untuk mengadakan armada kapal/perahu nelayan, atau bila ada rencana investasi oleh nelayan, selalu pengadaan motor penggerak perahu menjadi permintaan nelayan.

Program lain yang dikembangkan untuk mengentaskan kemiskinan adalah pengembangan nilai tambah melalui penerapan sistem rantai dingin (cold chain system). Sistem rantai dingin adalah penerapan cara-cara penanganan ikan dengan menggunakan es guna menghindari kemunduran mutu ikan. Dikatakan sistem rantai dingin karena esensinya yaitu menggunakan es di sepanjang rantai pemasaran dan transportasi ikan, yaitu sejak ditangkap atau diangkat dari laut hingga ikan tiba di pasar eceran atau di tangan konsumen.Sistem rantai dingin dikembangkan di seluruh daerah di Indonesia pada awal tahun 1980- an. Namun demikian masalah yang dihadapi adalah sosialisasi sistem ini yang tidak begitu baik sehingga akhirnya kurang mendapat tempat di hati masyarakat. Sebagai contoh hingga saat ini, di daerah tertentu di Maluku dan NTT, ada pendapat bahwa ikan yang menggunakan es adalah ikan yang rendah kualitasnya. Bagi masyarakat di kedua daerah ini, meskipun ikan sudah sangat turun mutunya namun tetap dikonsumsi bila tidak memakasi es. Sebaliknya meskipun masih baik mutunya namun apabila menggunakan es maka ikan tersebut tidak akan dibeli oleh masyarakat.

Alasan lain kurang berhasilnya sistem rantai dingin adalah fasilitas dan prasarana pabrik es yang tidak tersedia secara baik. Umumnya pabrik es dibangun oleh swasta, kecuali di pelabuhan perikanan milik pemerintah dimana pabrik es tersedia. Namun demikian apa yang disediakan oleh pemerintah masih sedikit dan terkonsentrasi di daerah tertentu saja, bila dibandingkan dengan kebutuhan yang begitu besar dan tersebar merata di seluruh Indonesia Program besar lain yang dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan adalah pembangunan prasarana perikanan, khususnya pelabuhan perikanan berbagai tipe dan ukuran di seluruh Indonesia. Dengan bantuan luar negeri, selama beberapa tahun terakhir, pelabuhan perikanan, mulai dari kelas yang sangat kecil yaitu pangkalan pendaratan ikan hingga kelas yang terbesar yaitu pelabuhan perikanan samudera, dibangun di desa-desa nelayan dan sentra-sentra produksi perikanan. Akan tetapi, kembali, banyak pelabuhan yang masih belum dimanfaatkan.

Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Berdasarkan konsep pembanguanan masyarakat yang menekankan pada pemberdayaanmaka diformulasikan sasaran pemberdayaan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan petaniikan yang tinggal di kawasan pesisir pulau kecil dan besar, yang adalah sebagai berikut:

· Tersedianya dan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.

· Tersedianya prasarana dan sarana produksi secara lokal yang memungkinkan masyarakat dapat memperolehnya dengan harga murah dan kualitas yang baik.

· Meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif (collectiveaction) untuk mencapai tujuan-tujuan individu.

· Terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah yang memiliki ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal (resource-based), memiliki pasar yang jelas (market-based) dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan kapasitas sumberdaya(environmental-based), dimiliki dan dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat lokal (local society-based), dan dengan menggunakan teknologi maju tepat guna yang berasaldari proses pengkajian dan penelitian (scientific-based).

· Terciptanya hubungan transportasi dan komunikasi sebagai basis atau dasar hubungaN ekonomi antar kawasan pesisir serta antara pesisir dan pedalaman.

· Terwujudnya struktur ekonomi Indonesia yang berbasis pada kegiatan ekonomi diwilayah pesisir dan laut sebagai wujud pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya alam laut.

Lemahnya Keterlibatan Stakeholder

Masalah yang muncul dari beberapa kelembagaan adalah memperlakukan masyarakat pesisir dengan cara dan sudut pandang secara sama. Sejatinya, masyarakat tidak dapat diperlakukan dengan sama dalam aturan-aturan yang sifatnya mekanistik karena masyarakat bukanlah mesin. Kegagalan yang terjadi dalam proses pembangunan yang terjadi di masyarakat pesisir disebabkan karena kebanyakan dari proyek pembangunan yang dilakukan untuk masyarakat pesisir adalah proyek yang berorientasi hasil dengan mengabaikan proses pembangunan dan kultur masyarakat pesisir. Selain itu, banyak dari pihak luar yang kurang antusias dan kurang simpati dalam keikutsertaan membangun sumberdaya wilayah pesisir dan memberdayakan masyarakat setempat.

Munculnya masalah tersebut disebabkan oleh lemahnya sistem dan tata cara koordinasi antar stakeholder karena belum didukung dengan adanya sistem hukum yang mengatur kegiatan tesebut. Selain itu, lemahnya kualitas sumber daya manusia yang mempengaruhi proses partisipatif menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini sering berdampak pada munculnya ketidak-sepahaman dan konflik penggunaan ruang antar stakeholder dalam rangka menjaga keseimbangan keberlanjutan sumberdaya alam yang berada di sekitar wilayah pesisir dan laut. Oleh karena itu, tekait dengan permasalahan-permasalahan tersebut di atas pengkajian kebijakan kelautan secara partisipatif dengan stakeholder dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir sangat diperlukan.

Masyarakat pesisir memerlukan bentuk kegiatan nyata yang dapat membangun ekonomi mereka tanpa menghilangkan kultur dan karakteristik dari masyarakat pesisir tersebut. Maka diperlukan bentuk kegiatan yang berbasis masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang no.22 tahun 1999 tentang desentralisasi dan otonomi daerah yang memberikan wewenang kepada daerah untuk mengurus sendiri segala urusan daerahnya. Begitu juga dengan wilayah pesisir, ketua masyarakat atau kepala suku dapat bekerjasama dengan penduduk untuk mengurus pesisir dan lautnya sesuai dengan adat mereka. Namun, disamping itu masyarakat pesisir harus bekerjasama juga dengan pemerintah atau BPL (Badan Penyuluhan Lapangan) untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada masyarakat supaya pengelolaan sumberdaya alam lingkungan laut dapat termanfaatkan dengan baik dan lestari.

Permasalahn Kemiskinan Masyarakat Pesisir

Keterbelakangan dan kemiskinan bukanlah cerita baru bagi masyarakat pesisir. Berdasarkan ukurannya, kemiskinan dibagi menjadi dua kemiskinan absolute dan kemiskinan relative (Satria, 2002)6. Kemiskinan absolute adalah masyarakat yang secara alamiah benar-benar miskin berdasarkan ketentuan ukurannya. Sementara itu, kemiskinan relative merupakan kemiskinan dari suatu kelompok pendapatan bila dibandingkan dengan kelompok pendapatan lainnya

Kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan masyarakat pesisir. ketertinggalan ini disebabkan paling tidak oleh tiga hal utama, yaitu : kemiskinan structural, kemiskinan super-struktural, dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal di luar individu.Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabelvariabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan.. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu (Nikijuluw dalam Die, 1996)7.

Kemiskinan kultural terjadi karena faktor internal, nelayan miskin karena kurangnya modal dan keterbatasan teknologi dan menajemen bahkan karena sifat malas yang dimiliki oleh nelayan yang menyebabkan dia miskin. Berbeda dengan kemiskinan cultural yang timbul dari intern, kemiskinan structural terjadi karena factor eksternal misalnya adanya hambatan bagi mobilitas vertical nelayan, tidak adanya dukungan dari pemerintah atau hubungan patron-klien yang masih bersifat asimetris.

Aspek struktural menyebabkan lemahnya posisi nelayan atau pembudidaya ikan dalam pemasaran. Proses tawar menawar menyebabkan para nelayan sangat lemah dan tidak berdaya karena hasil produksi mereka yang masih minim. Selain itu, desakan kebutuhan yang memaksa nelayan untuk menerima tawaran harga dari pasar meskipun harga tersebut sangat merugikan nelayan. Sehingga kajian tentang pemberdayaan untuk mengatasi masalah para nelayan, kemiskinan dan keterbelakangan sangatlah penting.

Pemberdayaan merupakan upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh masyarakat (Wahyono, 2001). Program pemberdayaan masyarakat adalah program yang seluruhnya melibatkan masyarakat, partisipasi masyarakat,dan berbasis masyarakat karena pihak luar hanya sebatas mendampingi dan memberikan alternative pemecahan masalah bagi masalah yang dihadapi masyarakat. Untuk melakukan pemberdayaan maka harus ada pengetahuan yang luas dan penguatan system lokal sehingga ide dan gagasan para nelayan patut didengarkan dengan baik.

Kesimpulan

Masyarakat pesisir merupakan suatu komunitas yang hidup di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dengan sumberdaya pesisir. Masyarakat pesisir termasuk masyarakat yang masih terbelakang dan berada dalam posisi marginal. Selain itu, banyak dimensi kehidupan yang tidak diketahui oleh orang luar tentang karakteristik masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir mempunyai cara berbeda dalam aspek pengetahuan, kepercayaan, peranan sosial, dan struktur sosialnya. Sementara itu, dibalik kemarginalannya, masyarakat pesisir tidak mempunyai banyak cara dalam mengatasi masalah yang hadir. Masalah kompleks yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kemiskinan, keterbatasan pengetahuan untuk pengelolaan sumberdaya dan teknologi, serta peran aktif antara pihak luar dengan masyarakat pesisir sehingga dapat menghidupkan kualitas dan keterampilan masyarakat pesisir tanpa melunturkkan karakter budayanya

Masyarakat pesisir yang memiliki karakter tegas, keras, dan terbuka memerlukan berbagai strategi dan kegiatan.yang bersifat fleksibel agar dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Pemberdayaan masyarakat berbasis masyarkat merupakan salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan dan ketidakberdayaan yang dialami oleh masyarakat pesisir khususnya para nelayan. Program-program yang telah dilakukan pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat pesisir telah banyak menghasilkan manfaat dan membantu meningkatkan pendapatan masyarakat. Namun, tidak sedikit pula program-program yang tidak berhasil karena tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan tidak ada keberlanjutan dari masyarakat.

Saran

Pada dasarnya masyarakat pesisir tidak hanya termarginalkan dalam hal geografis, tetapi juga dalam hal keterlibatan dengan pihak luar. Oleh karena itu, untuk menghadapi berbagai konflik dan masalah yang tak kunjung reda pada masyarakat pesisir, diperlukan adanya suatu integrasi dan kerjasama antara pihak terdidik baik suatu lembaga ataupun pemerintah dengan masyarakat pesisir untuk memberikan pendidikan dan kegiatan nyata yang berkelanjutan yang dibutuhkan masyarakat. Masyarakat pesisir bukan suatu obyek yang hanya patut diteliti tentang berbagai ketimpangan yang terjadi didalam masyarakat tersebut dan kemudian dibela. Namun, masyarakat pesisir memerlukan suatu kegiatan yang tidak bersifat advokasi melainkan suatu fasilitator yang dapat menampung aspirasi mereka. Olek karena itu, untuk pihak luar yang bekerja sama dengan masyarakat pesisir hanya patut mendengarkan, dan mendampingi mereka serta memberikan alternative pemecahan masalah karena masyarakat pesisir sendirilah yang akan memperbaiki kualitas hidup mereka